Enam Tahun

Jpeg

Sudah enam tahun kueja waktu
Sejak senyum terakhirmu yang kukulum
Tak ada yang berbeda

Detik-detik merajam, hari-hari usang
Terulang-ulang
Pernah kau bertanya: apa arti cinta bagiku?
Terdiam
Sekarang dapat kujelaskan
Cinta, Canti Tinca Catin Citan Tanci
Hanya kumpulan huruf-huruf. Ia mati
Aku, kamu, cinta, dan derita
Adalah tokoh drama yang diciptakan-Nya

Sudah enam tahun kueja waktu
Sepanjang yang mampu kuingat
Hanya surat-suratmu yang kudapat
Tidak hilang, hanya sakit yang terkenang

19 Jan 2012, Thu محمّد زكريّا

Menyempatkan waktu membuka buku-buku lama malam kemarin, tak sengaja menemukan ini: sebuah puisi, terselip di buku Dwilogi Padang Bulan yang saya beli 4 tahun yang lalu. Ternyata saya cukup puitis juga waktu dulu (dan sedikit alay bikin-bikin puisi segala). Masih ingat suasana waktu menulis puisi ini, sendirian, di dalam kelas. Ketika orang lain sedang makan siang, saya, seperti biasa, malah pergi ke kelas. Membaca-baca buku pelajaran apa saja yang tertinggal di kelas, atau membaca kamus. Iya, membaca kamus Inggris-Indonesia Hasan Shadily seperti membaca novel, saking sulitnya mendapat akses buku pada waktu itu.

Benci-benci rindu sebenarnya dengan zaman itu. Benci karena sulit sekali mendapatkan waktu sendiri dan belajar dengan cara yang saya mau. Rindu karena pada saat itulah saya mulai menemukan *mukapengenmuntah* jati diri saya. Sulit sekali menggambarkan bagaimana saya mengenang masa tersebut secara tepat. Mungkin harus ada pembahasan lain nanti.

Ini adalah puisi pertama dan terakhir yang saya tulis, puncak-puncaknya keinginan saya untuk masuk Sastra Indonesia (dan Sastra Inggris serta Biologi). Beberapa bulan setelah Januari tersebut sangat menguras pikiran sekali: ujian, ujian, dan ujian!

Sekadar informasi, puisi itu murni karangan, bukan berdasarkan pengalaman pribadi. Yah, gak ada yang peduli juga sih itu karangan atau curahan hati. Haha. Puisi itu menggambarkan kehampaan hati Ikal yang ditinggalkan A Ling, Arai yang ditinggalkan Nurmala, atau, yang lebih mengena, Syalimah yang ditinggalkan Zamzami. Kehampaan yang sangat dalam sampai kita ingin percaya saja kalau cinta itu cuma ilusi, tidak benar-benar nyata.

Berikan komentar